Quid Enim Diplomasi Pertahanan Indonesia?

958
QUID ENIM DIPLOMASI PERTAHANAN INDONESIA
Photo: IDM

Diplomasi pertahanan dibutuhkan untuk membuka akses terhadap akuisisi alutsista berteknologi maju. Tidak saja sekedar mampu membeli, dibutuhkan pula perijinan dari pemerintah negara produsen alutsista. Dalam kasus tertentu, bahkan dibutuhkan juga ijin dari sejumlah negara lain yang terafiliasi dengan alutsista tersebut. Contohnya adalah F-35, yang merupakan pesawat tempur canggih bergenerasi lima yang sulit terdeteksi radar yang mampu mengusung empat rudal atau bom di dalam perutnya. Akuisisi F-35 membutuhkan ijin pemerintah AS dan juga urutan antrian dari negara-negara pembeli terdahulu F-35 yang akan membuat rencana akuisisi F-35 untuk TNI AU menghadapi kendala teknis. Kunjungan Prabowo ke AS pada bulan Oktober 2020 lalu telah menghasilkan sejumlah terobosan. Ada alutsista yang diupayakan Prabowo untuk dapat dibeli dari AS.

Sedangkan di Rusia, Prabowo menghadapi tantangan atas pengadaan alutsista yang sudah ditandatangani di era Ryamizard Ryacudu namun dalam pelaksanaannya menghadapi kendala politik. AS telah menetapkan undang-undang perlawanan terhadap musuh AS melaui sanksi (Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act atau CAATSA) yang memberikan sanksi kepada sejumlah individu dan perusahaan dari Rusia, Iran dan Korea Utara termasuk pihak-pihak yang bertransaksi dengan mereka. Prabowo memiliki harapan untuk mengupayakan kepada pemerintah AS memberikan dispensasi atas pemberakuan CAATSA dalam pengadaan alutsista asal Rusia kepada Indonesia. Hal tersebut terjadi di India, dimana negara Taj Mahal ini tetap mengadakan suku cadang alutsista dari Rusianya seperti Su-30 MKI, MiG-29K, Il-78, MiG-21, Mi-35 dan lain sebagainya.

Dengan Jepang, dipahami bahwa Jepang berharap Indonesia lebih tegas dalam menentang aksi Cina di LCS. Namun Prabowo tentu memahami bahwa tidak ada untungnya Indonesia terlalu tegas dalam sengketa di LCS seperti yang telah diulas sebelumnya di atas. Jepang, seperti Jerman, yang tidak leluasa mengembangkan teknologi persenjataannya tanpa diawasi AS, tidak memberikan proposisi sumber alutsista yang menarik bagi Indonesia kecuali dalam alutsista matra laut. Jepang merupakan salah satu pemasok kapal komersial terbesar di dunia. Kerja sama industri pertahanan antara galangan kapal Jepang dan PT. PAL (Persero) akan memiliki nilai strategis jika Jepang dapat membangun basis produksi kapal militer dan komersialnya di fasilitas PT. PAL (Persero).

Sementara dengan Austria difokuskan pada rencana pengadaan pesawat Eurofigther Typhoon Trance 1 bekas. Prabowo melihat bahwa dalam proses akusisi teknologi tidak dapat terjadi. Proses anggaran, pengadaan dan produksi akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Diperlukan adanya alutsista pengisi sementara (interim) sambil menunggu datangnya pesanan alutsista baru. Namun pesawat yang rencananya dibeli dari Austria tersebut diberitakan mengandung polemik di dalam Austria dan pabrikan yang belum tuntas penyelesaiannya.

Dengan Perancis, Prabowo melihat sejumlah peluang kerja sama yang bukan saja dari aspek teknologi, melainkan terutama dari aspek pembiayaan. Kedua negara memiliki lembaga keuangan yang tertarik berinvestasi dalam membiayai pengadaan alutsista untuk Indonesia senilai dengan kebutuhan pengadanaan alutsista hingga beberapa periode rencana strategis ke depan. Sehingga tidak heran jika Prabowo sempat tertarik kepada alutsista asal negeri Menara Eiffel tersebut seperti pesawat tempur Rafale dan kapal selam Scorpene. Sehingga dapat dikatakan bahwa diplomasi pertahanannya ke Prancis adalah untuk mendapatkan tujuan ekonomi pertahanan, berupa dukungan pinjaman.

Dengan banyaknya tujuan yang dapat disasar dari diplomasi pertahanan, maka setidaknya terdapat enam quid enim atau alasan diplomasi pertahanan, yaitu: menegasikan ancaman, menghindari perang, mendapatkan manfaat di sektor lain, membangun external balancing, akuisisi alutsista modern, dan akuisisi teknologi kunci persenjataan modern. Jika dituangkan dalam tabel, berikut ini diplomasi pertahanan yang telah dan dapat dilakukan Prabowo untuk mengamankan kepentingan nasional di sektor pertahanan negara:

NoQuid Enim DPNegara MitraCatatan
1Menegasikan AncamanCinaKlaim 9-dashed lines Cina telah menyebabkan insiden di Laut Natuna Utara (LNU). DP diperlukan untuk membuat Cina menghormati hak berdaulat Indonesia di LNU.
2Menghindari PerangAS-Cina di LCSPerang di LCS akan menjadi bencana global. DP Indonesia diperlukan untuk menenangkan AS dan Cina untuk menghindari perang.
3Mendapatkan Manfaat di Sektor LainPerancis, Inggris, Saudi, Qatar, UEADengan adanya kerja sama antar Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia dengan sejumlah negara, DP diperlukan untuk menyasar pendanaan SWF tsb. untuk pertahanan.
4Membangun External BalancingAdidaya DuniaManakala Indonesia terancam dengan negara di sekitarnya yang lebih kuat dan agresif, DP diperlukan untuk membangun kerja sama pertahanan dengan rival dari potensi ancaman Indonesia untuk bersama-sama menangkalnya.
5Akuisisi Alutsista ModernAS / NATOAlutsista modern beroperasi secara kesisteman. Sektor pertahanan Indonesia pada akhirnya harus memilih sistem TNI akan berorientasi pada NATO/Rusia/Cina.
6Akuisisi Teknologi KunciAS / NATOTeknologi alutsista modern dikuasai oleh sedikit negara maju. Perlu DP yang efektif kepada pihak-pihak terkait agar diberi akses untuk akuisisi teknologi sensitif tersebut.

Terkait akuisisi teknologi modern, Prabowo baru saja menghandiri acara peluncuran pesawat KF-21 Boramae di Kota Sacheon (Korea Selatan) yang merupakan hasil kolaborasi Korean Aerospace Industries (KAI), PT Dirgantara Indonesia (Persero) dan sejumlah mitra industri lainnya. KF-21 digadang sebagai pesawat tempur generasi 4, walaupun dari segi penampilan sudah menyerupai pesawat tempur generasi 5, seperti F-35 AS dan J-31 Cina. Teknologi kunci pada KF-21 tidak semuanya dapat diakuisisi oleh industri nasional Indonesia, dikarena faktor politik yang membedakan tingkat kedekatan Indonesia dan Korea Selatan terhadap Amerika Serikat.

Sejumlah teknologi kunci yang tidak berhasil didapat dari AS untuk Indonesia diduga seperti radar canggih Active Electronic Scanned Array (AESA), sensor pasif Infra Red and Tracking System (IRST) dan sistem pengolahan data (mission system) berkecepatan tinggi yang memudahkan pilot dalam operasi militer. Tanpa sistem di atas, maka penguasaan teknologi Indonesia akan terus tertinggal dan bergantung kepada negara maju. Diperlukan diplomasi total dalam mendukung kepentingan di sektor pertahanan Indonesia. Sehingga mottonya yang paling pas untuk konteks Indonesia hari ini adalah diplomasi untuk pertahanan, dan bukan pertahanan untuk diplomasi.