Quid Enim Diplomasi Pertahanan Indonesia?

949
QUID ENIM DIPLOMASI PERTAHANAN INDONESIA
Photo: IDM

Oleh: Ariscynatha Putra Ingpraja
(Peneliti di Center for ASEAN Energy Research Universitas Pertamina)

Frekuensi kunjungan kerja luar negeri Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto mengingatkan masyarakat pada Presiden Gus Dur pada tahun 1998-1999. Dalam periode tujuh belas bulan sebagai Menhan, Prabowo telah berkunjungan ke Rusia (tiga kali), Austria, Prancis (dua kali), Inggris, Jerman, Jepang, Korea Selatan, Cina, Amerika Serikat, Malaysia, Thailand, Turki dan Filipina. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah untuk apa kunjungan sebanyak itu bagi sektor pertahanan negara Indonesia.

Presiden Joko Widodo pada tanggal 23 Januari 2020 membela Prabowo dengan menyatakan bahwa yang dilakukan Prabowo adalah bagian dari diplomasi pertahanan Indonesia. Dari kacamata konsep diplomasi pertahanan hal itu menimbulkan pertanyaan selanjutnya. Apa sasaran diplomasi pertahanan Prabowo ke sejumlah negara yang telah disebutkan di atas? Kenapa seorang Menhan harus menyempatkan hadir secara fisik ke Amerika Serikat, Jepang, Rusia, Inggris dan Korea Selatan di tengah situasi pandemi global yang tentunya memiliki tantangan tersendiri dalam mobilitasnya. Tentu ada hal yang sangat penting yang harus dibicarakan langsung oleh dan/atau kepada Prabowo yang tidak dapat disampaikan melalui pertemuan daring yang semakin menjadi norma baru saat ini.

Diplomasi pertahanan sendiri belum merupakan sebuah studi yang mapan. Awal diksi diplomasi pertahanan muncul di tahun 1995 oleh Kementerian Pertahanan Inggris untuk menamakan aktivitas kementeriannya dalam berdiplomasi kepada mitranya di negara-negara ex-Pakta Warsawa di Eropa Timur pasca kolapsnya Uni Soviet di tahun 1991. Negara-nagara NATO memandang perlu adanya terobosan baru dalam diplomasi militer saat itu yang difokuskan pada pengiriman atase militer, pertukaran siswa militer dan ship visits. Kementerian pertahanan dari negara-negara NATO perlu saling bahu membahu menjalankan kampanye diplomasi persuasif kepada sejumlah kementerian pertahanan negara-negara ex-Pakta Warsawa agar beralih orientasi dari Rusia ke NATO.

Tujuan dari upaya diplomasi di atas dilandasi oleh perimbangan kekuatan warisan Perang Dingin yang menghendaki perluasan wilayah yang pro-NATO di Eropa demi kestabilan keamanan. Merubah orientasi politik dari Rusia ke NATO bukanlah perkara sederhana. Karena negara-negara yang disasar akan menghadapi Rusia yang semula merupakan negara pengayom berubah menjadi negara potensi ancaman. Rusia yang perekonomiannya kolaps di tahun 1990-an suatu saat akan bangkit lagi dan berpotensi untuk mengintimidasi negara-negara kecil yang tidak sejalan di sekitarnya. Negara-negara kecil tersebut membutuhkan jaminan NATO untuk keamanannya jika berpindah polar ke NATO dan yang utama juga mendapatkan bantuan ekonomi dari Amerika Serikat dan/atau Uni Eropa.

Sektor ekonomi di Uni Eropa tidak selalu memandang baik dengan bergabungnya negara-negara ex-Pakta Warsawa jika akan membebani perekonomian Uni Eropa. Sehingga konsensus untuk merangkul negara-negara kecil tersebut di NATO sulit untuk terbangun. Karenanya NATO dan kementerian pertahanan negara-negara NATO memiliki alasan kuat untuk mengambil alih peran kementerian luar negeri yang “tersandera” sektor ekonomi di negara masing-masing dengan memanfaatkan segenap sumber daya yang mampu dikelolanya untuk berusaha mendekati negara-negara ex-Pakta Warsawa tersebut. Sejarah mencatat masuknya lima gelombang penambahan anggota NATO, yaitu di tahun 1999 (Republik Czech, Hongaria, dan Polandia); tahun 2004 (Bulgaria, Estonia, Latvia, Lithuania, Romania, Slovakia, dan Slovenia); tahun 2017 (Montenegro) dan tahun 2020 (Macedonia Utara) ke NATO dan akhir ke Uni Eropa. Hal itu merupakan keberhasilan diplomasi pertahanan (walau dari sektor ekonomi, belum dapat dianggap pencapaian).

Berkaca dari apa yang dilakukan NATO di atas, kemudian teringat pada pertanyaan sebelumnya di awal tulisan ini, yaitu untuk apa (dalam bahasa latinnya Quid Enim) diplomasi pertahanan Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo? Yang jelas tujuan Prabowo berbeda dengan NATO. Konteks pertahanan Indonesia saat ini tidak sama dengan yang dihadapi NATO. Bahwa konteks yang Indonesia saat ini hadapi adalah kemungkinan perang dalam 25 tahun mendatang dan ancaman aktual terhadap Indonesia bisa muncul kapanpun dengan berbagai bentuk.

Jika dianalisis lebih mendalam, ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Cina saat ini di Indo-Pasifik sesungguhnya bukan karena masalah perbatasan atau dodominasi isu kebebasan bernavigasi di Laut Cina Selatan maupun Laut Cina Timur. AS pertama kali menganggap Cina sebagai ancaman sejak tahun 1949, manakala Partai Komunis Cina mengalahkan pemerintahan Kuomintang Pimpinan Chiang Kae-Shek yang didukung AS. Apa yang dilakukan AS saat ini terhadap Cina adalah warisan dari Perang Dingin di era Presiden Harry Truman sebagai strategi pembendungan (containment strategy) terhadap komunisme yang berlangsung hingga kini.

Cina saat ini sudah mengadopsi prinsip ekonomi kapitalis yang disebut dengan sosialisme berarakter Cina oleh Ketua Deng Xiaoping di tahun 1978. Perekonomian Cina kemudian maju pesat hingga saat ini PDBnya menyaingi AS. Perekonomian Cina lebih dikhawatirkan AS ketimbang komunisme Cina. Sebagai negara adidaya, sudah sewajarnya jika AS berupaya untuk membendung kebangkitan Cina agar AS selalu mendominasi perekonomian dan politik dunia.