Quid Enim Diplomasi Pertahanan Indonesia?

958
QUID ENIM DIPLOMASI PERTAHANAN INDONESIA
Photo: IDM

Tensi politik AS dan Cina di Indo-Pasifik menjadi meningkat karena terdapat kompleksitas yang mempekuat permusuhan di antara keduanya. Pertama, asertivitas Cina di Laut Cina Selatan (LCS) dengan membangun tujuh pulau buatan di dekat Kepulauan Spartly dan mengklaim perairan teritorial di 88% wilayah LCS telah membuat negara-negara kawasan meradang. Filipina sebagai negara sekutu AS tentu mengharapkan dukungan AS dalam mempertahankan kedaulatannya. AS juga tidak dapat tinggal diam karena harus mempertahankan kredibilitas institusi aliansi yang dibangunnya.

Cina yang memiliki rudal nuklir berdaya jangkau puluhan ribu kilometer tidak dapat dipandang remeh AS. Perang terbuka di antara keduanya hanya akan membuat perekonomian kedua negara hancur dan membuat politik dunia diambang chaos akut karena tidak ada lagi kekuatan besar yang mampu menegakkan ketertiban dunia. Negara-negara kecil berpotensi untuk saling berperang untuk mengamankan kepentingannya masing-masing. Sehingga perang besar antara AS dan Cina akan menjadi bencana bagi peradaban dunia.

Bagi Cina, asertivitas yang telah dilakukan di LCS sulit untuk dihentikan. Xi Jinping telah kadung menggelorakan nasionalisme maritim rakyat Cina untuk menguasai LCS yang dalam sejarahnya di era Republik (Nasionalis) Cina di tahun 1947 menerbitkan peta LCS yang menjadi wilayah Cina dan tidak ditentang AS yang menjadi negara mitra dekatnya. Membangkitkan nasionalisme maritim tersebut memiliki nilai strategis bagi Partai Komunis Cina (PKC) untuk mengalihkan perhatian rakyatnya yang semakin teredukasi agar tidak menutut reformasi total di bidang politik yang dapat meruntuhkan kekuasaan PKC sendiri. Perlu adanya isu yang membuat rakyat Cina bersatu dan tidak mempersoalkan masalah politik domestik. Nasionalisme maritim merupakan isu yang sangat “seksi” karena mengandung nilai kebanggaan bangsa dan juga persaingan dengan negara hegemon global. Rakyat Cina cenderung semakin mendukung PKC dan konsekuensinya LCS menjadi harga mati bagi Cina.

Di sisi lain, AS juga melihat isu LCS sebagai peluang untuk pengalihan isu lain yang lebih terukur dampaknya karena berada jauh dari AS. Isu yang dimaksud adalah tentang reunifikasi Taiwan ke dalam Cina. AS telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan untuk menghormati One China Policy yang dituntut Cina di tahun 1972 dalam Shanghai Communiqué. Bagi PKC, Taiwan merupakan beban politik karena sudah terlanjur menyatakan kebijakannya berupa reunifikasi dan menjadi prioritas nasional Cina.

Bagi AS dan Cina, perang antara Cina-Taiwan akan sangat dilematis. Bagi Cina untuk menduduki Taiwan bukan perkara mudah. Jika meluncurkan rudal nuklir terlebih dahulu, Cina akan dianggap melakukan pelanggaran HAM yang akan diikuti dengan sanksi sejumlah negara kepada Cina. Sementara persenjataan berteknologi maju Cina diperkirakan hanya mampu melumpuhkan aset udara, laut, pertahanan udara, dan alutsista darat Taiwan saja. Hal tersebut tidak berarti Cina mampu menduduki Taiwan. Jika pasukan Cina mendarat di Taiwan, kemungkinan besar pasukan AS membantu Taiwan. Jika pasukan AS berperang di Taiwan, korban jiwa yang jatuh, baik dari AS, Cina dan Taiwan, akan sangat banyak. Jadi jika fokus atensi Cina berpindah dari Taiwan ke LCS merupakan hal yang lebih baik untuk ketiga negara.

Menyikapi hal di atas, diplomasi pertahanan Indonesia dapat dikembangkan terarah. Tujuannya adalah agar tidak terjadi perang di LCS. Wilayah LCS yang berdimensi maritim akan lebih banyak memerlukan pertempuran antara persenjataan matra udara dan laut, ketimbang pasukan darat. Sehingga diperkirakan jumlah korban jiwa dalam mandala perang LCS tidak banyak. Namun jika terjadi perang di LCS, apakah Indonesia terlibat? Jawaban diplomatiknya adalah tidak. Indonesia tidak memiliki kepentingan dalam konflik tersebut dan kedua negara merupakan negara mitra strategis Indonesia. Jika demikian, kembali ke pertanyaan awal, untuk apa diplomasi pertahanan Indonesia?

Diplomasi pertahanan Indonesia dalam konteks sengketa di LCS lebih kepada menghindari perang. Seperti yang dilakukan AS terhadap Palestina dan Israel, yaitu untuk mendamaikan pihak yang berkonflik untuk mendeskalasi konflik yang terjadi. AS sangat dihormati Palestina dan Israel karena memiliki kemampuan politik, ekonomi, dan militer yang dapat mempengaruhi konflik kedua negara. Sehingga diplomasi pertahanan Indonesia yang efektif harus berangkat dari kekuatan dan kemampuan militer yang disegani oleh AS dan Cina.

Untuk menjadi negara dengan kekuatan militer yang disegani, Indonesia masih dalam proses transformasi. Alutsistanya sudah banyak yang usang. Jumlah alutsista jika dibadingkan dengan luas ruang udara, perairan dan daratan relatif kecil. Singapura dengan wilayah daratan seluas 728,3 kilometer persegi mengoperasikan 40 F-15SG, 60 F-16 Blok 52, empat pesawat intai G550-AEW, enam tanker A330 MRTT, 96 tank Leopard 2SG, empat kapal selam dan enam fregat. Bandingkan dengan Indonesia dengan luas ruang udara 8,3 juta kilometer hanya mengoperasikan 33 F-16 lama, 16 Su-27/30, tanpa pesawat AEW&C, satu tanker C-130B Hercules, empat kapal selam dan tujuh fregat. Artinya, pertahanan Indonesia membutuhkan akuisisi alutsista secara masif dan disanalah muncul kebutuhan akan diplomasi pertahanan.