Selasa, 19 Maret 2024

Mengenal Lebih Dekat Empat Pahlawan Nasional Wanita Hebat Indonesia

BACA JUGA

Jakarta,IDM – Wanita juga memiliki peran penting dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Selain itu, sejumlah pahlawan nasional wanita Indonesia juga kerap berperan untuk emansipasi perempuan Indonesia. Jasa mereka tidak bisa kita lupakan begitu saja. Siapa sajakah pahlawan wanita Indonesia yang berpengaruh pada masa era perjuangan? Berikut empat pahlawan wanita yang jarang banyak diketahui:

(1) H. R. Rasuna Said

 Rasuna yang bernama lengkap Hajjah Rangkayo Rasuna Said lahir pada 14 September 1910 di Maninjau, Agam, Sumatra Barat. Wanita yang selalu menggunakan kerudung ini tak hanya berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia tetapi juga untuk emansipasi perempuan.  Sejak kecil, Rasuna Said sudah mengenyam pendidikan Islam di pesantren dan tertarik mengikuti perjuangan politik. Kemudian Rasuna Said membela kaumnya dengan bergabung di Sarekat Rakyat sebagai sekretaris cabang. Setelah itu, ia menjadi anggota Persatuan Muslim Indonesia.

Pada masa perjuangan, Hj Rangkayo Rasuna Said pernah di penjara Belanda pada tahun 1932 karena memprotes ketidakadilan Pemerintah Hindia Belanda. Dia juga pernah duduk menjadi anggota DPR-RIS dan Dewan Pertimbangan Agung. Semasa hidupnya, Rangkayo aktif memperjuangkan persamaan hak pria dan wanita. pada masa itu Rasuna sangatlah memperhatikan kemajuan dan pendidikan kaum wanita, ia sempat mengajar Diniyah Putri sebagai guru.

Namun pada tahun 1930, Rasuna Said berhenti mengajar karena memiliki pandangan bahwa kemajuan kaum wanita tidak hanya bisa didapat dengan mendirikan sekolah, tetapi harus disertai perjuangan politik. Rasuna Said ingin memasukkan pendidikan politik dalam kurikulum sekolah Diniyah School Putri, tetapi ditolak. Rasuna Said kemudian mendalami agama pada Haji Rasul atau Abdul Karim Amrullah yang mengajarkan pentingnya pembaharuan pemikiran Islam dan kebebasan berpikir yang nantinya banyak mempengaruhi pandangan Rasuna Said

Pada tahun 1935 Rasuna said pernah menjadi pemimpin di majalah raya, namun majalah ini dikenal radikal pada masa kolonial, bahkan majalah ini menjadi tonggak perlawanan rakyat indonesia di Sumatera Barat. Pihak Belanda yang mempersempit ruang gerak Rasuna dan kawan-kawan membuat Rasuna memilih pindah ke Medan dan mendirikan sekolah pendidikan khusus wanita perguruan putri. disana ia menuangkan bakat jurnalistiknya dengan menerbitkan sekaligus dinobatkan sebagai pimpinan redaksi sebuah majalah bernama Menara Poetri. Majalah ini berdiri pada tahun 1937 dengan fokus bahasan tentang keputrian dan keislaman.

Pasca kemerdekaan, Rasuna Said aktif di Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia di Parlemen dengan keikutsertaannya dalam Panitia Pembentukan Dewan Perwakilan sumatra, dan mewakili Sumatera Barat. Ia aktif sebagai wakil rakyat mulai dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hingga  Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Rasuna Said juga aktif dalam organisasi Persatuan Wanita Republik Indonesia (PERWARI) sebagai pimpinan cabang Jakarta.

Rasuna Said diberikan tanda kehormatan Satyalancana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan dan Satyalancana Perintis Pergerakan Kemerdekaan. Selain itu, sebagai tanda penghormatan terakhir, kini namanya diabadikan sebagai nama jalan protokol, tertulis H.R. Rasuana Said di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.

(2) Maria Walanda Maramis

Walanda Maramis, perempuan asal minahasa dikenal sebagai sosok  pejuang emansipasi wanita di minahasa. Tokoh pahlawan yang bernama lengkap Maria Josephine Catherine Maramis ini lahir di sebuah desa kecil yang berada di kabupaten Minahasa Utara, Kecamatan Kema (hasil pemekaran Kecamatan Kauditan) provinsi Sulawesi Utara.

Maria adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Ayahnya adalah Alexander Andries Maramis yang terlibat dalam pergolakan kemerdekaan Indonesia dan menjadi menteri dan duta besar dalam pemerintahan Indonesia.

dimana kakak perempuannya bernama Antje dan kakak laki-lakinya bernama Andries. Maria menjadi yatim piatu pada saat ia berumur enam tahun karena kedua orang tuanya jatuh sakit dan meninggal dunia.

Paman Maria yaitu Mayor Ezau Rotinsulu, yang waktu itu adalah kepala distrik di Maumbi, membawa Maramis dan saudara-saudaranya ke Maumbi untuk mengasuh dan membesarkan mereka di sana, Dari kepindahan itu, Maramis berteman dengan kaum terpelajar, misalnya seorang pendeta bernama Jan Ten Hoeve.

Selain itu, ia beserta kakak perempuannya dimasukkan ke Sekolah Melayu di Maumbi. Sekolah itu mengajar ilmu dasar seperti membaca dan menulis serta sedikit ilmu pengetahuan dan sejarah. Ini adalah satu-satunya pendidikan resmi yang diterima oleh Maramis dan kakak perempuannya karena perempuan pada saat itu diharapkan untuk menikah dan mengasuh keluarga.

Apa yang terjadi di Minahasa merupakan dorongan awal dalam diri Maria Walanda untuk memperjuangkan nasib kaum perempuan. Ia mengawalinya dengan mempelajari bahasa Belanda. Walaupun tidak mengenyam bangku pendidikan yang lebih tinggi, cita-cita mulia mulai berkecambah di pikiran Maria berkat pergaulan yang luas itu. Menurut  Edi Warsidi dalam Meneladani Kepahlawanan Kaum Wanita (2007: 19), Maria ingin memajukan perempuan Minahasa meskipun harus mendobrak tradisi. Baginya, perempuan harus memperoleh pendidikan yang cukup.

Pada tahun 1890 atau saat usianya baru menginjak 18 tahun, Maria menikah dengan seorang guru sekolah dasar di Manado bernama Yoseph Frederik  Calusung Walanda. Sejak itulah Maria mulai merintis cita-citanya untuk memajukan kaum perempuan. Setelah menikah, Maria mengikuti suaminya tinggal di Manado.

Ia mulai mengutarakan isi pikirannya melalui tulisan yang dikirimkan ke surat kabar Tjahaja Siang, pionir surat kabar di Sulawesi Utara. Dalam tulisan-tulisannya, ia memaparkan pentingnya kaum perempuan memperoleh pendidikan yang lebih baik sehingga nantinya bisa berperan menjadi istri sekaligus ibu yang lebih baik pula untuk keluarga.

M. Junaedi Al Anshori dalam Sejarah Nasional Indonesia: Masa Prasejarah Sampai Masa Proklamasi Kemerdekaan (2011: 108) mencatat, pada 8 Juli 1917, saat usia Maria mencapai 45 tahun, ia dan beberapa rekannya mendirikan organisasi yang diberi nama Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya atau disingkat PIKAT. Pendirian PIKAT dibantu sang suami dan beberapa tokoh cendekiawan lainnya.

PIKAT mulanya hanya merupakan forum untuk saling berbagi untuk mendiskusikan berbagai persoalan tentang pendidikan anak. Namun kemudian timbul gagasan yang lebih luas dari Maria terkait misi dan tujuan PIKAT, yaitu sebagai wadah untuk memajukan kaum perempuan di Minahasa.

Kemunculan PIKAT mendorong kesadaran kaum perempuan di Minahasa dan Sulawesi pada umumnya untuk berorganisasi. Setelah tahun 1920, sebagaimana dicatat G.A. Ohorella dan kawan-kawan dalam Peranan Wanita Indonesia dalam Masa Pergerakan Nasional (1992: 8), jumlah perkumpulan perempuan semakin banyak. Selain itu organisasi politik memberikan perhatian lebih dengan menyokong dibentuknya sayap perempuan.

PIKAT yang digagas oleh Maria berkembang pesat dan memiliki banyak cabang hingga ke Kalimantan dan Jawa. Organisasi ini tumbuh dengan dimulainya cabang-cabang di Minahasa, seperti di Maumbi, Tondano, dan Motoling. Selain itu, cabang di luar Minahasa antara lain di Sangir Talaut (Sangihe-Talaud), Poso, Gorontalo, dan Ujung Pandang.

Cabang-cabang di Jawa juga terbentuk oleh ibu-ibu di sana seperti di Batavia, Bogor, Bandung, Cimahi, Magelang, dan Surabaya.

Pada tanggal 2 Juni 1918, PIKAT membuka sekolah Manado. Di sekolah ini mereka diajari hal-hal rumah tangga seperti memasak, menjahit, merawat bayi, pekerjaan tangan, dan sebagainya. Selain itu, PIKAT juga mendirikan sekolah bagi anak-anak perempuan bernama Huishound School Pikat dan tidak dipungut bayaran. Maria juga membuka Sekolah Kejuruan Putri lengkap dengan asramanya. Maramis terus aktif dalam PIKAT sampai akhir hayatnya pada tanggal 22 April 1924.

Dengan demikian, untuk menghargai peranannya dalam pengembangan keadaan wanita di Indonesia, Maria Walanda Maramis mendapat gelar Pahlawan Pergerakan Nasional dari pemerintah Indonesia pada tanggal 20 Mei 1969.

(3) Nyai Ahmad Dahlan

Kota Yogyakarta yang dikenal sebagai Kota pelajar merupakan rumah kelahiran banyak tokoh nasional yang jejak jasanya masih bisa kita rasakan. Salah satu tokoh nasional dengan jasa dan jejak langkah panjang yang lahir di kota Yogyakarta adalah Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan.

Siti walidah atau Nyai Ahmad Dahlan dilahirkan pada 3 Januari 1872 di kawasan Kauman yang terletak di belakang masjid Gede Yogyakarta. Siti Walidah merupakan putri Haji Muhammad Fadil seorang ulama penghulu Keraton Yogyakarta. Ibunya bernama Nyai Mas. Siti Walidah lahir dari keluarga yang didasarkan pada dasar agama atau kehidupan spiritual Islam.

Pada masanya anak perempuan tidak lazim menempuh pendidikan di sekolah formal. Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan tetap mendapat pendidikan agama dari ayahnya. Ia juga dididik berbagai hal terkait hakikat perempuan, baik dalam peran dan statusnya sebagai istri maupun sebagai ibu. Hal yang telah banyak menjadi pijakan pemikiran dan aktivitasnya saat ia bergiat di organisasi.

Nyai Dahlan menjadi penyambung semangat dan gagasan dari Kiai Dahlan kepada generasi penerus, khususnya perempuan melalui Sopo Tresno, cikal bakal Aisyiyah. Organisasi otonom bagi wanita Muhammadiyah yang didirikan pada 19 Mei 1917 dengan Nyai Ahmad Dahlan sebagai kepala-nya. Hingga lima tahun kemudian organisasi tersebut menjadi bagian dari Muhammadiyah.

Melalui Aisyiyah, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah putri dan asrama, serta keaksaraan dan program pendidikan Islam bagi perempuan, Dia juga berkhotbah menentang kawin paksa.  Dia juga mengunjungi cabang-cabang di seluruh Jawa.

 Berbeda dengan tradisi masyarakat Jawa yang patriarki, Nyai Ahmad Dahlan berpendapat bahwa wanita dimaksudkan untuk menjadi mitra suami mereka. Sekolah Aisyiyah dipengaruhi oleh ideologi pendidikan Ahmad Dahlan yakni Catur Pusat: pendidikan di rumah, pendidikan di sekolah, pendidikan di masyarakat, dan pendidikan di tempat-tempat ibadah.

Setelah Ahmad Dahlan meninggal dunia pada tahun 1923, Nyai Ahmad  Dahlan terus aktif di Muhammadiyah dan Aisyiyah. Pada tahun 1926, dia memimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya. Dia adalah wanita  pertama yang memimpin konferensi seperti itu.

Sebagai hasil dari liputan luas media di koran-koran seperti Pewarta Soerabaia dan Sin Tit Po, banyak perempuan terpengaruh untuk  bergabung ke dalam Aisyiyah, sementara cabang-cabang lainnya dibuka di pulau-pulau lain di Nusantara.

Nyai Ahmad Dahlan terus memimpin Aisyiyah sampai 1934.  Selama masa pendudukan Jepang, Aisyiyah dilarang oleh Militer Jepang di Jawa dan Madura  pada 10 September 1943, dia kemudian bekerja di sekolah-sekolah dan berjuang untuk menjaga siswa dari paksaaan untuk menyembah matahari dan menyanyikan lagu-lagu Jepang. Selama masa Revolusi Nasional Indonesia, dia memasak sup ​​dari rumahnya bagi para tentara dan mempromosikan dinas militer di antara mantan murid-muridnya. Dia juga berpartisipasi dalam diskusi tentang perang bersama Jenderal Sudirman dan Presiden Sukarno.

Nyai Ahmad Dahlan meninggal dunia pada 31 Mei 1946 dan dimakamkan di belakang Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta empat jam kemudian. Sekretaris Negara Abdoel Gaffar Pringgodigdo dan Menteri Agama, Rasjidi mewakili pemerintah pada saat itu  turut mengiringi kepergian sosok  pahlawan emansipasi tersebut pada saat pemakamannya.


 

4) Nyi Ageng Serang

Nyi Ageng Serang yang bernama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang berasal dari Purwodadi.  Nyi Ageng Serang adalah pemimpin gerilyawan Jawa yang memimpin penyerangan terhadap kolonial Belanda. Nyi Ageng Serang merupakan putri dari Pangeran Natapraja, seorang penguasa daerah Serang, Jawa Tengah yang juga merupakan Panglima Perang Sultan Hamengkeu Buwono I. Nyi Ageng merupakan salah satu keturunan dari Sunan Kalijaga. Selain itu, ia juga mempunyai seorang cucu yang kelak akan menjadi seorang pahlawan, yakni R.M. Soewardi Surjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara.

Karir Nyi Ageng dalam militer kerajaan dimulai sejak berusia 16 tahun. Saat itu dia masuk Korps Nyai di Keraton Yogyakarta. Di tempat inilah dia mendapat gelar Nyi Ageng, (tulis Peter Carey dalam Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX). Sementara itu kata Serang dia dapat karena menikahi Pangeran Serang I. Pada jamannya, dia dikenal sebagai perempuan kuat, tangguh, dan pintar.

Sejak belia Nyi Ageng Serang gemar berlatih ilmu bela diri. Dia dihormati karena kecakapannya dan memiliki kesaktian tinggat tinggi yang konon diperolehnya ketika bersemedi di gua di sekitar pantai selatan Jawa. Konon, Banyak orang mendatanginya untuk berguru.

Ketika Perang Diponegoro terjadi pada tahun 1825, Nyi Ageng bersama pasukannya, Semut Ireng,  ikut berperang berasama pangeran Diponegoro, mereka segera bergerak ke sektor Serang-Demak pada masa-masa awal perang. Dalam setiap pertempuran, dia selalu berkuda putih dan menggunakan seragam serta melilitkan selendang pusaka lambang keperwiraannya di tombaknya.

Nyi Ageng Serang, seperti ditulis Kayatun dalam skripsinya, “Nyi Ageng Serang dalam Perang Diponegoro”, dikenal sebagai seorang taktikus dan pengatur strategi perang yang andal. Lantas bukan hal yang aneh Pangeran Diponegoro sering meminta bantuannya.

Pasukan Semut Ireng terdiri dari 500 prajurit dengan posisi yang diatur selalu siap siaga. Di Perang Jawa, Semut Ireng yang selalu memakai panji merah-putih yang disebut Panji Gula Kelapa mula-mula menghancurkan pos Belanda di Gambringan kemudian melanjutkan penyerangan ke Purwodadi.

Dalam tugas merebut bagian timur Jawa Tengah, Nyi Ageng yang duduk sebagai penasehat dan bergerak bersama anaknya, Pangeran Serang II, memerintahkan pasukannya untuk melakukan penyamaran dengan daun limbu. Kamuflase daun limbu dilakukan dengan cara setiap prajurit membawa daun limbu untuk digunakan sebagai pelindung atau payung.

Kecerdikan dan pengalaman Nyi Ageng membuat nasihatnya tentang strategi perang selalu didengarkan Pangeran Diponegoro. Dia akhirnya dipercaya menjadi penasihat umum dalam perang Jawa. Posisi pentingnya selama Perang Jawa membuat Nyi Ageng Serang sangat  dihormati pengikut Diponegoro Setelah tiga tahun ikut bertempur bersama Pangeran Diponegoro, Nyi Ageng Serang tidak kuat lagi melawan penjajah karena kekuatan fisiknya tidak memadai.

Ia pun mundur dari peperangan dan pasukan yang ia pimpin diambil alih oleh cucunya Raden Mas Pak-Pak Pada tahun 1828.  Nyi Ageng Serang meninggal dunia di usia 76. Jasadnya dimakamkan di desa Beku, Kulonprogo, tempat Nyi Ageng Serang pernah bergerilya melawan Belanda. Nyi Ageng Serang dikukuhkan sebagai Pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden RI No.084/TK/1974. (MAN)

BERITA TERBARU

EDISI TERBARU

sidebar
ads-custom-5

POPULER