Selasa, 7 Mei 2024

Kenang Peran Pewarta dan IPPHOS Saat Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

BACA JUGA

Dikutip dari laman Sekretariat Negara (Setneg), kalimat pertama dari teks Proklamasi merupakan saran Soebardjo yang diambil dari rumusan Dokuritsu Junbi Cosakai, sedangkan kalimat terakhir merupakan sumbangan pikiran Mohammad Hatta. Hatta menganggap kalimat pertama hanyalah merupakan pernyataan dari kemauan bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri. Menurutnya, perlu ditambahkan pernyataan mengenai pengalihan kekuasaan (transfer of sovereignty). Maka dihasilkanlah rumusan terakhir dari teks proklamasi itu.

17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB, di halaman rumah Soekarno di Jl. Pegangsaan Timur No. 56, naskah proklamasi dibacakan dalam suasana khidmat. Prosesi yang sebenarnya tanpa protokol nyatanya tidak menghalangi gelora euforia rakyat dalam merayakan dan menyebarluaskan berita luar biasa ini.

Peran para pewarta sangat penting dalam peristiwa ini, antara lain Frans dan Alex Mendoer dari IPPHOS yang mengabadikan momen pembacaan proklamasi, BM Diah dan Jusuf Ronodipuro yang membantu penyebaran berita proklamasi lewat berbagai cara, seperti radio, surat kabar, telegram, serta melalui lisan.

Mengutip tulisan Soerjoatmodjo, Yudhi. 2013. IPPHOS, Indonesian Press Photo Service, Remastered Edition, yang diterbitkan Galeri Foto Jurnalistik Antara menerangkan bahwa indonesian press photo ( IPPHOS) didirikan tanggal 2 oktober 1946 oleh Mendur bersaudara: Alex dan Frans Mendur, Umbas bersaudara: Justus dan Frans “Nyong” Umbas, kemudian Alex Mamusung, Oscar Ganda, dan Malvin Jacob.

Mereka adalah pemuda-pemuda dari Minahasa dan tergabung dalam KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), organisasi yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Alex Mendur sebelum mendirikan IPPHOS adalah fotografer harian “Merdeka” dan kantor berita Jepang “Domei”. Sementara Frans adalah fotografer Koran “Asia Raya”. Alex dan Frans juga telah malang melintang di harian “Java Bode” dan majalah berita bergambar “Wereld Nieuws en Sport in Beeld” di tahuan 1930-an.

(kiri ke kanan) Frans “Nyong” Umbas, Alex Mendur, Frans Mendur, Alex Mamusung

Ada cerita menarik ketika mereka mengabadikan Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Frans mendapatkan cerita dari wartawan Jepang di “Djawa Shimbun Sha” pada malam 16 Agustus 1945 kalau besok kemerdekaan akan diumumkan. Alex kakaknya juga mendengar berita yang sama dari Zahrudi, kawannya di Domei. Frans kemudian berangkat jam 5 pagi tanggal 17 agustus bersama wartawan Dal Bassa Pulungan dan pergi ke kediaman Soekarno dengan mengendarai mobil pinjaman, berbekal kamera Leica dan satu rol film yang ia “serobot” dari persediaan kantor Djawa Shimbun Sha. Frans dan Alex berangkat terpisah, dan bertemu di Jalan Pegangsaan Timur 56.

Frans dan Alex Mendur adalah satu-satunya fotografer yang hadir pada peristiwa Proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Coba bayangkan kalau mereka tidak punya rasa ingin tahu dan tidak lekas bergerak keesokannya. Apakah penduduk Indonesia dan dunia pada saat itu meyakini bahwa RI telah merdeka? Seluruh rakyat di penjuru nusantara waktu itu hanya bisa menduga-duga saja.

Foto ini diambil oleh Frans Mendur. Bersama kakaknya Alex Mendur adalah fotografer pertama yang meliput peristiwa bersejarah tersebut. Bukti sahih RI telah Merdeka

Di bulan-bulan berikutnya Alex dan Frans Mendur harus mempertahankan negatif film itu dari sensor Jepang dengan menguburkannya di kebun. Baru 6 bulan kemudian setelah pasukan Jepang mulai melemah karena kekalahan perang dunia 2 dan pemberontakan di tanah air, foto proklamasi kemerdekaan itu dapat disaksikan secara perdana kepada seluruh rakyat Indonesia tanggal 19 Februari 1946, melalui Koran harian “Merdeka’.

Sebagai pemasok foto-foto untuk berita, IPPHOS mengambil posisi yang unik. Disaat kantor sejenis seperti Antara dan BFI (kelak berubah menjadi Perusahaan Film Negara di bawah naungan Kementerian Penerangan RI) mengikuti arus yang lebih mapan dengan mengikuti pemerintah. IPPHOS memilih menjadi independen. Artinya mereka tidak dibiayai oleh pemerintah dan tidak punya kewajiban mengikuti agenda dan kepentingan pemerintah. Namun dari situlah nilai kelebihannya, IPPHOS bisa memotret apa saja baik dari kacamata Republik maupun penjajah. Kita bisa melihat IPPHOS memotret semangat patriotik para pejuang dalam mempertahankan Republik yang bau kencur ini. Tapi disisi lain IPPHOS juga bisa memotret betapa sengsaranya orang-orang Belanda dan Indo (keturunan) yang harus terusir dari tanah Indonesia. Suatu hal yang tidak dilakukan fotografer kolonial saat itu, dimana gambar yang disajikan selalu berpihak kepada Belanda dan tidak mempunyai sensitivitas terhadap penderitaan rakyat yang dijajah.

Mereka adalah interniran Belanda dan Indo (keturunan) yang harus terusir dari Indonesia. Mereka kehilangan hak-haknya di masa pendudukan Jepang dan Indonesia setelah proklamasi Kedekatan IPPHOS dengan Soekarno, Bung Hatta, SJahrir, dan Hamengku Buwono IX membuat IPPHOS bolak-balik masuk ke dalam ruang privat dan mendokumentasikan perjanjian penting di masa revolusi kemerdekaan seperti perjanjian Renville, Linggarjati, dan Roem-Royen.

Mereka membagi kantor menjadi 2 yaitu di Jakarta dan Yogyakarta supaya lebih fleksibel dalam melakukan liputan. Pada saat itu Ibukota RI sempat pindah ke Yogyakarta dari Jakarta. Di IPPHOS Jakarta ada Alex Mendur dan Justus Umbas untuk mengikuti gerak politik dari Sjahrir dkk. sementara di IPPHOS Yogyakarta ada Frans Mendur, Oscar Ganda, Alex Mamusung, dan Melvin Jacob untuk mengikuti Soekarno-Hatta, Jenderal Soedirman, dan beberapa pejabat pusat yang pindah ke Yogya. Sedangkan pesaingnya Antara dan BFI karena mengikuti pemerintah harus memindahkan seluruh resource-nya ke Yogya. Di Jakarta ruang gerak mereka dalam melakukan liputan amat terbatas.

Keberadaan Antara yang terikat dengan RI juga menjadi rawan penggeledahan oleh tentara Belanda. Itu yang membuat dokumen foto berkarung-karung lenyap di bawa penjajah dan tak pernah kembali. Sedangkan BFI (Berita Film Indonesia) yang dibawah naungan Kementerian Penerangan berubah menjadi Kementerian Penerangan RI semakin tenggelam dalam labirin birokrasi dan tidak pernah berjaya lagi.

IPPHOS sebagai kantor berita independen makin tersohor di tahun 1950-an dengan meliput peristiwa perang di Sulawesi. IPPHOS juga mendapat julukan raja kertas karena menjadi penyalur surat kabar, fotografi ilford, tinta cetak “tjemani”, dan lampu pijar.

Untuk bisa mencapai kemakmuran itu IPPHOS harus melalui proses yang tak mudah. Mereka tetap mendapat sedikit fasilitas dari pemerintah dan pengusaha pada saat itu tapi tidak sebesar Antara dan BFI. Bahkan Justus dan “Nyong” Umbas sempat berjualan sayur mayur demi kelangsungan bisnisnya. IPPHOS juga membuka jasa foto untuk perkawinan, pesta, dokumentasi keluarga, dan perayaan warga Pro-RI di Jawa Tengah dan Keluarga Belanda di Jakarta. Pragmatisme mereka lakukan demi menghidupi usaha tanpa harus mengorbankan prinsip membela tanah air.

Sikap IPPHOS yang selalu ingin mandiri, punya jiwa entrepreneurship, berani berpikir beda, tapi luwes dalam menyiasati perjuangan justru menjadi kekuaran mereka. Ini yang membuat IPPHOS bertahan, sementara Antara dan BFI terus tenggelam.

Akan tetapi waktu dan perubahan di level kepemimpinan nasional yang membuat kejayaan IPPHOS makin meredup. Kantor mereka yang pertama di Hayam Wuruk harus berpindah ke Kampung Melayu karena kesulitan dana. Pemerintah orde baru seakan melupakan peran Alex Mendur dkk dalam menghadirkan Republik Indonesia yang muda belia ke dalam imaji-imaji sehingga seluruh dunia bisa tahu bahwa Indonesia berdiri karena jerih payah keringat dan darah sendiri. Barangkali kedekatan IPPHOS dengan Soekarnolah yang tidak dikehendaki era orde baru. Karena jika IPPHOS terus berdiri maka bayang-bayang Soekarno akan terus muncul.

Diakhir acara pameran tersebut, hadir pula istri pendiri IPPHOS alm. Alex Mamusung, Emmy Mamusung yang sudah berumur 86 tahun dengan kursi roda bersama anaknya yang ketujuh Louis Z. Mamusung. Louis bercerita kepada hadirin yang datang bahwa Dia sangat bangga dengan adanya acara ini. waktu sekolah dasar dia pernah berkata kepada teman-temannya bahwa foto yang ada di buku sekolah itu adalah foto karya papanya.  Dia sangat senang. Tapi hanya sebatas itu pikirannya. Dia tidak mengira proses di balik foto itu punya kisah perjuangan tersendiri. Louis berkata mengapa Papanya meninggal. Dari diagnosa dokter papanya meninggal karena adanya bahan kimia yang terlalu banyak di paru-parunya. Hampir separuh hidupnya alm. Alex berada di bilik kamar yang gelap dan lembab untuk mencetak foto-foto. Dan diantara foto-foto itu sudah bisa kita nikmati di bangku sekolah sebagai bahan dalam menghayati perjuangan para founding fathers (juga mothers) Republik Indonesia tercinta. Semoga jasa dan amal baik para awak IPPHOS mendapatkan kebaikan di sisi-Nya. Amin

BERITA TERBARU

INFRAME

Peringatan HUT ke-72 Kopassus

Upacara peringatan HUT ke-72 Komando Pasukan Khusus (Kopassus) berlangsung di Lapangan Mako Kopassus, Cijantung, Jakarta, Selasa (30/4).

EDISI TERBARU

sidebar
ads-custom-5

POPULER