Jakarta, IDM โ Pagi-pagi sekali di tanggal 23 Oktober 1948, pasukan Belanda melakukan penumpasan dan pembersihan besar-besaran di wilayah Bendul, Purwakarta. Belanda geram dan marah besar pascakereta api logistik mereka terguling di kawasan tersebut. Belanda mensinyalir aksi itu dijalankan oleh sebuah organisasi ekstrim bernama SP 88 (Satoean Pemberontak 88). Alhasil dua pentolan SP 88 Uswata dan Darja ditangkap dan dihukum mati tak lama kemudian.
Menurut Sudjono Dirdjosisworo dalam bukunya Siliwangi dari Masa ke Masa edisi III, pasukan SP 88 dipimpin oleh seorang Letnan Kolonel TNI bernama Oesman Soemantri. Pasukan ini terpencar di Jarong-Cibungur (Purwakarta)-Cikampek-Dawuan (Karawang).
“Anggota SP 88 terbilang besar; ditaksir lebih dari 1.500 personel dengan kekuatan senjata sekitar 450 pucuk,” tulis Sudjono.
Baca Juga: JA Dimara, Mutiara Hitam dari Papua
Dalam aksinya, SP 88 mengutamakan kecepatan dan kerahasiaan. Sesuai motto mereka โdatang seperti angin dan pergi pun laksana anginโ, sebisa mungkin para anggota SP 88 tidak menarik perhatian saat tengah menjalan aksi-aksinya.
Seperti aksi sabotase Uswata dan Darja yang terjadi pada tanggal 22 Oktober 1948 sekitar pukul 17.00. Rel kereta Api dibongkar sepanjang 20 meter mengakibatkan lokomotif double traksi dengan satu tender anjlok dan terguling. Saat itu sekitar 50 orang pejuang langsung menyerang tentara Belanda yang ada di gerbong tersebut. Para pasukan Belanda tidak dapat melakukan perlawanan, dikarenakan mereka dalam posisi tidak siap, buntutnya 8 orang tentara Belanda tewas dan 23 orang lainnya terluka.
Aksi penggulingan kereta api disinyalir sebagai bentuk balas dendam atas pembantaian Belanda ke 431 orang di Rawagede.
Teror Bendera Merah Putih
Baca Juga: Benteng Bukit Kursi, Bangunan Pertahanan Utama di Pulau Penyengat
Selain itu aksi SP 88 yang membuat polisi dan tentara Belanda kembali jengkel adalah operasi agitasi-propaganda. Mereka memasang puluhan bendera merah-putih di kota Purwakarta setiap menjelang peringatan Hari Kemerdekaan RI. Selain itu, SP 88 beraksi lewat coretan-coretan propaganda di tembok-tembok gedung dan keretapi. Penyebaran poster ancaman terhadap mata-mata Belanda pun kerap mereka lakukan di berbagai pusat keramaian.
Gar Soepangat, eks gerilyawan Republik di wilayah Purwakarta dalam wawancara dengan Historia.id bulan Agustus 2018 masih ingat bagaimana dia memimpin aksi corat-coret dan penempelan poster di dalam kota Purwakarta. Biasanya aksi itu dilaksanakan beberapa menit sebelum tengah malam atau lewat tengah malam.
โKami harus kucing-kucingan dengan patroli tentara Belanda,โ kenangnya.
Menurut Robert B. Cribb, sejarawan berkebangsaan Australia dalam bukunya Gangsters and Revolutionarie, aksi kelompok berseragam hitam yang menamakan diri SP 88 cukup membuat ciut nyali kaum Bumiputra yang bekerja sebagai mata-mata atau pegawai pemerintah sipil bentukan Belanda.
Baca Juga: Pertempuran Teluk Sibolga, Adu Tembak Pertahanan Pantai ALRI dengan Kapal Perang Belanda
Menurut Cribb, di beberapa tempat seluruh kader pemerintah tingkat bawah bentukan Belanda tiba-tiba lenyap begitu saja.
โBahkan ada rencana SP 88 menyerang rumah bupati Karawang dalam satu serbuan,โ tulis Cribb.
Usia SP 88 sendiri terbilang panjang. Ketika Divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat pada Desember 1948, eksistensi organ teror ini tetap dipertahankan. Mereka pun kembali menjadi andalan kekuatan militer Republik mengobrak-abrik pertahanan Belanda hingga tercapainya kesepakatan gencatan senjata pada 10 Agustus 1949. (Sumber: Historia.id, Sindonews.com) (rr)