Konflik India-Pakistan Picu Krisis Pangan Indonesia?

Dr. Rasminto
Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI) dan Akademisi Unisma

Jakarta, IDM โ€“ Ketegangan antara India dan Pakistan memang tengah mereda. Gencatan senjata sementara berhasil meredam bentrokan di kawasan perbatasan Kashmir. Namun, gencatan ini belum berarti perdamaian.

Sejarah panjang konflik dan ketegangan internal masing-masing negara, potensi meletupnya eskalasi baru tetap tinggi. Dan Indonesia, meski jauh dari garis tembak, tak kebal dari dampaknya.

Salah satu risiko terbesar berupa terganggunya suplai pangan global. Ketergantungan Indonesia pada impor pangan tertentu, terutama gandum, membuat situasi ini bisa berdampak langsung ke masyarakat. Ini bukan hanya soal logistik, tetapi juga potensi instabilitas sosial dan politik nasional. Maka, kini saatnya memperkuat kesadaran bela negara sejak usia dini sebagai strategi pertahanan semesta.

Guncangan di Lumbung Pangan Dunia

India merupakan eksportir utama beras dan gandum dunia. Menurut data Food and Agriculture Organization (FAO, 2023), India menguasai lebih dari 40% ekspor beras global.

Perang atau blokade ekspor dari India otomatis mengguncang rantai pasok global. Indonesia, yang masih mengimpor sekitar 11 juta ton gandum per tahun (BPS, 2022), akan terdampak langsung oleh kondisi ini.

Baca Juga: Komandan Kapal Perang Jerman Berkunjung ke KRI Sultan Iskandar Muda-367

Gangguan distribusi dapat mendorong kenaikan harga bahan pokok. Apalagi dalam sejarah Indonesia, inflasi pangan sangat sensitif terhadap kestabilan sosial. Ketika beras dan gandum langka, keresahan publik meningkat.

Tekanan terhadap pemerintah pun bertambah, terutama di tahun-tahun awal masa pemerintahan Presiden Prabowo.

Robert Keohane dan Joseph Nye (1977) dalam teori Complex Interdependence menegaskan bahwa negara-negara kini hidup dalam jaringan ketergantungan global.

Konflik di satu titik dunia bisa menciptakan krisis di titik lainnya. Inilah yang membuat isu pangan hari ini bukan sekadar soal ekonomi, tapi juga soal pertahanan nasional.

Pangan Jadi Isu Politik

Kelangkaan bahan pokok bukan hanya memicu gejolak sosial, tapi bisa berubah menjadi isu politik yang dipolitisasi. Kenaikan harga beras, minyak goreng, atau gandum kerap jadi senjata bagi lawan politik untuk mengkritik kinerja pemerintahan.

Pada awal Februari 2025, kita mengalami krisis kelangkaan LPG 3 kg di pasaran, hal tersebut langsung bergejolak kencang pada kondisi sosial di masyarakat. Sejarah masa lalu Indonesia pun pernah mengalami hal demikian.

Baca Juga: Panglima TNI Hadiri Upacara Pelepasan Jenazah Prajurit Korban Ledakan Munisi

Sejarah mencatat berbagai peristiwa yang mengakibatkan kelaparan massal dan krisis pangan pernah terjadi di Indonesia (Resha Aditya Pratama, 2024).

Menurut Resha, salah satu yang paling terkenal adalah โ€œKrisis Pangan Global 1970-an”, yang berimbas pada Indonesia, hal itu dipicu oleh kombinasi berbagai faktor seperti cuaca buruk, lonjakan harga minyak, konflik geopolitik, pertumbuhan populasi yang cepat, perubahan iklim, dan kebijakan pertanian yang kurang efektif. Krisis ini terasa hingga di negara-negara berkembang, dimana kelaparan dan malnutrisi meningkat.

Kondisi di atas, sangat relevan jika kita refleksikan konsep human security yang dikenalkan Mahbub ul Haq (1994) memperluas makna keamanan nasional. Ia tidak hanya berbicara tentang ancaman militer, tetapi juga mencakup keamanan pangan, kesehatan, ekonomi, dan lingkungan.

Ketika masyarakat tak bisa mengakses pangan dengan layak, maka kepercayaan terhadap negara ikut tergerus.

Pada konteks hukum Indonesia, Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pun kendati demikian, UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara juga mengatur bahwa sistem pertahanan Indonesia bersifat semesta, melibatkan seluruh warga negara, sumber daya alam, dan sarana prasarana nasional.

Artinya, pertahanan terhadap ancaman nonmiliter seperti krisis pangan akibat konflik luar negeri juga merupakan bagian dari tanggung jawab bersama, yakni segenap tumpah darah Indonesia.

Bela Negara: Dari Loreng ke Lumbung Pangan

Di tengah kondisi global yang tak pasti, Indonesia butuh redefinisi konsep bela negara. Bukan lagi sebatas latihan militer, tetapi sebagai strategi total membangun resiliensi bangsa.

Morris Janowitz dalam The Professional Soldier (1960) memperkenalkan teori Civic Militarism, di mana kekuatan negara terletak pada kombinasi sinergis antara militer profesional dan warga sipil yang sadar akan peran strategisnya. Dengan kata lain, pertahanan tidak lagi eksklusif, tapi inklusif. Mulai dari ruang kelas, pasar, hingga media sosial.

Baca Juga: Dalam Sepekan, Fregat Milik Italia dan Jepang Bersandar di Jakarta

Pendidikan bela negara di sekolah dan kampus perlu dimodernisasi dan modifikasi. Materi tidak cukup berhenti di wawasan kebangsaan dan baris-berbaris. Harus ditambah isu-isu kontemporer seperti geopolitik, energi, krisis pangan, perubahan iklim, dan literasi digital.

Generasi muda juga perlu dibekali keterampilan praktis agar survive dalam menghadapi segala kondisi dengan urban farming, ketahanan pangan keluarga, literasi informasi, dan kemampuan adaptasi sosial.

Ketika bahan pokok langka, anak muda tidak hanya vokal, tapi tahu cara menanam, menyimpan, dan berbagi. Itulah bentuk bela negara yang relevan dengan zaman.

Saatnya Bertindak, Bukan Sekadar Waspada

Konflik Indiaโ€“Pakistan mungkin sedang jeda. Tapi dunia tetap bergejolak. Perang dagang, krisis energi, perubahan iklim, dan perang informasi tak pernah benar-benar berhenti. Maka, pertahanan kita juga tak boleh berhenti di level formalitas.

Kita butuh pendekatan baru, yakni pertahanan semesta berbasis kesadaran sipil, dengan bela negara sebagai fondasi karakter bangsa. Ini bukan tugas TNI saja, tapi seluruh elemen masyarakat, mulai dari pemerintah, guru, dosen, mahasiswa, gubernur, bupati, wali kota hingga petani dan pelajar.

Indonesia adalah bangsa besar yang harus siap menghadapi krisis global dengan kekuatan internal. Dan itu dimulai dari benih kesadaran bahwa membela negara bukan pilihan, melainkan kewajiban.

Berita Terkait

Berita Terbaru

INFRAME

Wakil Menteri Pertahanan Terima Kunjungan Kepala Staf Gabungan Pasukan Bela Diri Jepang

Wakil Menteri Pertahanan Donny Ermawan menerima kunjungan kehormatan Kepala Staf Gabungan Pasukan Bela Diri Jepang Jenderal Yoshida Yoshihide di Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI, Jakarta, (25/4).

Edisi Terbaru

Subscribe hubungi bagian Sirkulasi
WhatsApp 0811 8868 831
isi form subscribe

Baca juga

Populer