Jakarta, IDM โ Pernyataan Peter Dutton tentang Rusia dan Indonesia bukan sekadar keliru. Ia mencerminkan praktik berbahaya dalam politik modern: menjadikan isu luar negeri sebagai senjata politik domestik. Yang memprihatinkan, ruang publik kita justru ikut terseret ke dalam isu yang sebenarnya tak memiliki peluang. Opini berikut menyoroti apa yang mestinya menjadi perhatian utama kita: martabat diplomatik Indonesia dan etika hubungan antarnegara.
Dalam sebuah pernyataan politik yang mengejutkan, pemimpin oposisi Australia, Peter Dutton, mengklaim bahwa Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, menyampaikan bahwa Rusia telah meminta akses penggunaan pangkalan militer di Indonesia. Pernyataan tersebut sontak memicu kontroversi. Dutton kemudian mengklarifikasi bahwa informasi itu berasal dari sumber dalam pemerintahan Prabowo, bukan dari presiden secara langsung. Namun dalam politik internasional, klarifikasi semacam itu kerap datang terlambat-dampak politik dan diplomatiknya telah menyebar.
Pernyataan Dutton menunjukkan gejala yang makin lazim di era pasca-kebenaran: weaponization of foreign policy, ketika isu luar negeri dijadikan senjata kampanye politik domestik. Dalam upayanya menekan Pemerintah Albanese agar tampil lebih keras terhadap Rusia dan China, Dutton menyeret Indonesia ke dalam narasi yang spekulatif dan provokatif. Ia menjadikan isu keamanan kawasan sebagai alat untuk menegaskan kredibilitas politiknya, tetapi dengan cara yang mengorbankan etika diplomasi dan relasi antarnegara.
Baca Juga: Diplomasi dan Kedaulatan di Laut China Selatan
Indonesia telah bersikap jelas dan tegas. Kementerian Pertahanan menyatakan tidak ada pembicaraan tentang keberadaan pangkalan militer asing di Indonesia. Konstitusi dan Undang-Undang kita secara tegas melarang hal tersebut. Prinsip politik luar negeri Indonesia adalah bebas dan aktif, tidak berpihak pada blok manapun, dan selalu menjunjung tinggi kedaulatan.
Siapapun boleh mengincar, menyatakan ketertarikan, atau bahkan mengajukan proposal. Tidak ada larangan untuk itu. Tapi itu tidak berarti tidak bisa ditolak-apalagi jika bertentangan dengan hukum nasional. Dalam hal ini, Indonesia konsisten. Tidak ada tawar-menawar dalam urusan yang menyangkut kedaulatan wilayah dan prinsip dasar konstitusi pertahanan.
Namun substansi masalah tidak berhenti di soal boleh tidaknya pangkalan asing. Yang jauh lebih serius adalah bagaimana pemerintah Indonesia (bahkan nama presiden), diseret secara sembarangan oleh seorang politisi asing dalam narasi yang tak berdasar. Terlebih, Dutton mengklaim bahwa informasi ini diperoleh dari laporan media pertahanan Janes dan dari “orang-orang dekat Prabowo”. Celah inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk memantik spekulasi publik di dua negara sekaligus.
Di Australia, pernyataan itu digunakan untuk menuding bahwa pemerintahan Albanese terlalu lemah terhadap kekuatan otoriter. Tapi yang lebih berbahaya, di Indonesia, narasi ini justru berpotensi menjadi bahan bakar politik domestik untuk meragukan arah diplomasi dan orientasi Presiden Prabowo. Baik di Australia maupun di dalam negeri, mereka yang sejak awal mencurigai sikap Indonesia yang akomodatif terhadap Timur kini merasa mendapatkan konfirmasi, meski berbasis klaim yang tidak akurat.
Baca Juga: Peringati HUT ke-79 TNI, Lanud Adi Soemarmo Bagikan Makan Gratis
Membaca Isu dengan Perspektif Lebih Strategis
Yang cukup disayangkan, sebagian ruang diskusi publik di Indonesia justru lebih sibuk memperdebatkan soal kemungkinan keberadaan pangkalan asing-isu yang secara hukum nasional sudah ditutup rapat. Alih-alih memperkuat posisi Indonesia dalam menolak distorsi yang muncul dari luar negeri, fokus publik malah terseret pada aspek legalistik yang sebenarnya tidak lagi relevan.
Padahal, dari sudut pandang strategis, hal yang patut disorot adalah bagaimana narasi keliru dari tokoh oposisi Australia menciptakan dampak ganda: mencoreng martabat negara dan menimbulkan turbulensi di ruang publik kita sendiri. Kita tentu mendambakan publik yang tidak sekadar reaktif, tetapi juga media yang mampu menjernihkan konteks dan menunjukkan arah. Terutama saat martabat negara dipertaruhkan di panggung politik luar negeri.
Refleksi Strategis: Bangkitkan Kewaspadaan, Teguhkan Posisi
Relasi Indonesia-Australia sendiri adalah hubungan yang panjang dan tidak selalu mulus. Dari masa intervensi di Timor Leste, skandal penyadapan intelijen, hingga isu-isu migrasi dan penanganan pencari suaka, keduanya telah melalui pasang surut yang tajam. Namun dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan kemajuan: kerja sama pertahanan, ekonomi, dan pendidikan diperkuat dalam kerangka kemitraan strategis. Karena itu, manuver Dutton sangat disayangkan. Ia berpotensi merusak kepercayaan yang telah dibangun, hanya untuk keuntungan elektoral jangka pendek.
Baca Juga: Pentingnya Manajemen Intelektual Pertahanan
Di sisi lain, tanggapan dari Menlu Penny Wong cukup memadai. Ia menyebut tindakan Dutton sembrono dan membahayakan hubungan bilateral. Ini menjadi sinyal penting bahwa pemerintah Australia tetap menghargai kemitraan dengan Indonesia. Namun perlu juga disadari bahwa klarifikasi dari satu pihak tak cukup. Yang lebih penting adalah adanya kesadaran kolektif bahwa dalam dunia multipolar saat ini, narasi yang sembrono bisa menggoyang stabilitas kawasan.
Bagi Indonesia sendiri, insiden ini adalah pengingat strategis. Bahwa status kita sebagai kekuatan menengah yang sedang naik membuat kita makin rentan dimanfaatkan dalam konflik wacana antarnegara besar. Karena itu, kita perlu memperkuat diplomasi publik, pengelolaan persepsi strategis, dan kemampuan kontra-narasi untuk mencegah penyalahgunaan posisi dan reputasi kita oleh aktor eksternal.
Dan bagi para politisi luar negeri seperti Dutton, Indonesia punya pesan sederhana: jangan jadikan kami alat kampanye. Kami adalah negara berdaulat, dengan arah kebijakan luar negeri yang ditentukan oleh kepentingan nasional kami sendiri. (Khairul Fahmi. Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)).