Jakarta, IDM โย Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro membeberkan penyelesaian konflik di Laut Cina Selatan bukan terfokus pada penentuan wilayah semata.
Hal tersebut dikarenakan, persoalan Laut Cina Selatan membicarakan teritori yang saling tumpang tindih dan tidak hanya melibatkan konflik dua negara saja, tetapi kedaulatan wilayah enam negara tetangga di kawasan, seperti Filipina, Brunei Darussalam, Taiwan, Vietnam, Malaysia, dan Cina.
Adapun selama ini Indonesia tidak mengajukan klaim (non-claimant states) Laut Cina Selatan. Selama ini, Indonesia menghormati hukum laut internasional 1982 dan hanya menegaskanย rule of law atas Zona Ekslusif Ekonomi (ZEE) yang juga didukung oleh putusan mahkamah internasional pada 2016.
Baca Juga:ย KSAU Terima Laporan Kenaikan Pangkat Tujuh Pati TNI AU
“Kalau konflik dua negara tumpang tindih sangat mudah untuk diselesaikan, tapi kalau konflik enam negara dan bicara teritori, sangat susah atau mungkin nggak bisa,” ujar Kresno dalam paparannya di acara seminar “Perspektif Historis Penyelesaian Konflik Laut Natuna Utara dan Papua”, Jakarta, Senin (8/7).
“Misalnya di dalam satu wilayah yang tumpang tindih itu ada enam negara, gimana kita bisa menentukan garis? Menurut saya, persoalannya bukan menentukan wilayah,” sambungnya.
Kresno mengatakan, persoalan penyelesaian konflik di Laut Cina Selatan adalah dengan saling memiliki kesepakatan untuk menurunkan tensi, jika ada miskomunikasi yang terjadi lapangan. Selain itu, solusi lainnya ialah dengan membuat peraturan sementara di wilayah klaim tumpang tindih ZEE.
Baca Juga:ย Pesawat TNI AL Gelar Patroli Maritim Perdana di Perairan Papua
“Yang kedua adalah, sebetulnya ada di dalam pasal 74 hukum laut internasional (UNCLOS), termasuk pasal 83,” kata Kresno.
Dalam pasal 74, UNCLOS memberikan mandat kepada negara-negara yang sedang berunding untuk membuat sebuah kesepakatan atau pengaturan sementara yang bertujuan agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang saling merugikan dan menghambat proses pencapaian kesepakatan batas wilayah itu.
Kemudian, pada pasal 83 dinyatakan penetapan garis batas landas kontinen antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus dilakukan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional, sebagaimana tercantum dalam pasal 38 statuta mahkamah internasional untuk suatu penyelesaian yang adil.
“Sebetulnya, kalau para pihak belum sepakat terkait dengan garis, maka didorong, diinventaris untuk membuat apa yang disebut dengan Provisional Arrangement in Practical Matters,” jelas Kresno.
Baca Juga:ย Militer Singapura Sambangi Pussenif, Bahas Latma dan Pencegahan Konflik
Dalam peraturan sementara, Kresno menekankan antara negara yang memiliki kedaulatan di klaim tumpang tindih tidak bertujuan untuk berbicara mengenai wilayah, tetapi bagaimana untuk memanfaatkan sumber daya yang ada di area tersebut.
“Ketika bicara ZEE, negara pantai itu hanya punya hak terkait resources, tidak bicara wilayah. Wilayah itu 12 mil ke dalam, 200 mil laut itu bukan wilayah, makanya disebut dengan zona, continental shelf,” tuturnya.
“Pertanyaannya, apakah kita mau berdarah-darah ketika berbicara something is not territory?” imbuhnya. (at)