Senin, 13 Januari 2025

Profesor Marsetio Terbitkan Buku “Sea Power”, Jadi Bacaan Wajib Perwira TNI AL

BACA JUGA

Jakarta, IDM – Eks Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) periode 2012-2014, Laksamana (Purn) Profesor Marsetio meluncurkan buku “Sea Power Indonesia di Era Indo-Pasifik” tentang analisis tajam terhadap situasi geopolitik di Indo-Pasifik dan Laut Cina Selatan.

Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Muhammad Ali dalam peluncuran, mengungkapkan buku karya Profesor Marsetio tersebut bakal menjadi bacaan wajib para perwira TNI AL.

“Saya mengucapkan selamat dan terima kasih kepada Profesor Marsetio yang telah meluncurkan buku ini. Buku ini penting bagi TNI AL terutama bagi generasi muda angkatan laut,” kata Ali saat jumpa pers di Wisma Elang Laut, Jakarta, Selasa (6/8).

Baca Juga: TNI Tetap Jalankan Program “Papua Terang” Walaupun Terus Diintimidasi OPM

Ali juga mengatakan buku terbaru Profesor Marsetio tersebut akan diberikan ke seluruh jajaran di tiga wilayah Armada TNI AL, yaitu Koarmada I di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Koarmada II di Surabaya, Jawa Timur, dan Koarmada III di Sorong, Papua.

“Terima kasih juga bagi pak Marsetio, rencananya memberikan buku-buku ini kepada seluruh armada,” ucap Ali.

Pada kesempatan yang sam, Marsetio menyebut buku itu merupakan kelanjutan dari buku Sea Power Indonesia, yang terbit pada 2014 lalu. Dalam buku terbarunya ini, Marsetio menyampaikan pandangannya mengenai kekuatan pertahanan maritim (sea power) Indonesia di tengah kontestasi kekuatan militer dua negara, yaitu Amerika Serikat dan Cina di kawasan Indo-Pasifik, termasuk di Laut Cina Selatan.

Baca Juga: Akomodasi Terbatas, Pasukan TNI di IKN Akan Menginap di Kapal Perang

Angkatan Laut Amerika Serikat, dia menjelaskan, tidak meratifikasi dan menandatangani Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut (UNCLOS), dan atas nama kebebasan berlayar (freedom of navigation) kapal-kapal perang Amerika Serikat saat ini berlayar dengan bebas di perairan internasional, termasuk di Laut Cina Selatan yang 99 persen wilayahnya diklaim secara sepihak oleh Cina.

Dengan demikian, menurut Marsetio, potensi konflik terbuka di Laut Cina Selatan pun tak dapat dihindari. Namun, menurutnya da peluang untuk mengubah perairan Laut Cina Selatan yang rentan konflik itu menjadi kawasan kerja sama.

Dia mencontohkan kerja sama itu dapat dibentuk seperti Arctic Council yang berdiri pada 19 September 1996 dan saat ini beranggotakan delapan negara, yaitu Kanada, Denmark, Finlandia, Islandia, Norwegia, Rusia, Swedia, dan Amerika Serikat.

Baca Juga: Kunker ke Wilayah Timur Indonesia, KSAU Tegaskan Pentingnya Kesiapan Operasional dan Profesionalisme Prajurit TNI AU

“Kenapa tidak dibentuk misalnya Indo-Pacific Council, South China Sea Council, yang semata-mata tadi, di buku saya juga saya tulis yang utama bagaimana dunia akan ada ke depan apabila negara-negara dunia memahami yang disebut Sustainable Development Goals (SDGs),” kata Marsetio.

Menurut dia, tujuan bersama negara-negara dunia untuk mencapai SDGs dapat menjadi rujukan untuk membentuk kerja sama di perairan dan kawasan yang rentan konflik tersebut. (at)

BERITA TERBARU

INFRAME

Sjafrie Sjamsoeddin Menerima Kunjungan Menteri Pertahanan Jepang

Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin dan Menhan Jepang, Gen Nakatani, memberi penghormatan kepada Bendera Merah Putih dan Bendera Jepang saat upacara penyambutan di Kementerian Pertahanan, Jakarta, (7/1).

EDISI CETAK TERBARU

sidebar
ads-custom-5

POPULER