Jakarta, IDM – Deklarasi darurat militer Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk Yeol pada Selasa (3/12) malam memicu penolakan baik dari kabinetnya sendiri maupun masyarakat sipil karena menorehkan sejarah kelam.
Korsel baru menjadi negara demokrasi pada akhir tahun 1980-an. Selama masa kediktatoran saat Korsel berupaya bangkit usai kehancuran akibat Perang Korea tahun 1950-1953, sejumlah presiden beberapa kali mendeklarasikan darurat militer agar mereka dapat mengerahkan tentara dan kendaraan lapis baja di jalan atau tempat umum untuk mencegah demonstrasi.
Baca Juga: Tak Ada Krisis Keamanan, Analis: Darurat Militer Presiden Korsel Merupakan Bentuk Kudeta
Park Chung-hee seringkali menerapkan aturan itu untuk menindak protes politik dan oposisi sejak melakukan kudeta pada 1961 dan resmi menjadi presiden Korsel pada 1963. Usai menjadi diktator selama hampir 20 tahun, ia dibunuh oleh kepala intelijen pada tahun 1979. Sesaat setelahnya, Choi Kyu-Hah menggantikan Park untuk waktu yang tidak lama.
Lalu, Jenderal Chun Doo-hwan melancarkan kudeta dan mengambil alih pemerintahan. Pada Mei 1980, ia juga mendeklarasikan darurat militer, melarang semua kegiatan politik, menutup sekolah, dan menangkap orang-orang yang membangkang.
Akibatnya, protes meletus di Kota Gwangju dan Chun mengirimkan kendaraan lapis baja untuk menghadapi pemberontakan tersebut. Melansir The New York Times, Rabu (4/12), tragedi itu menewaskan 191 orang, termasuk 26 tentara dan polisi, tetapi keluarga demonstran yang terbunuh menyebut jumlah korban tewas jauh lebih tinggi.
Chun, yang tetap berkuasa hingga 1988, mengaitkan Tragedi Gwangju sebagai pemberontakan yang didorong oleh para simpatisan Korea Utara (Korut). Namun, pemberontakan itu menjadi momen penting dalam transisi Korsel menuju demokrasi, dan banyak warga Korsel mendukung revisi konstitusi.
Baca Juga: Picu Kekacauan, Presiden Korsel Cabut Darurat Militer
Pengganti Chun adalah rekan dekatnya yang mendukung Tragedi Gwangju yakni Jenderal Roh Tae-woo, yang menang tipis dalam pemilihan umum langsung dan demokratis pertama di Korsel. Roh menjadi presiden hingga 1993.
Pemerintahan Roh berakhir dan digantikan mantan aktivis Kim Young-sam. Kim mendorong proses pengadilan hingga akhirnya Chun dan Roh dipenjara atas dakwaan korupsi dan kudeta. Namun pada Desember 1997, Kim memberikan amnesti kepada Chun dan Roh. Ia menyebut hal itu bertujuan untuk mewujudkan persatuan negara. (bp)