AS & China, Kawan atau Lawan?

1077

Oleh: Analis Hubungan Internasional Stan Grant

Setiap tahun China merayakan kemenangan atas Amerika Serikat. Kita mengenalnya sebagai Perang Korea. Mereka (China) menyebutnya ‘Perang Melawan Agresi Amerika dan Membantu Korea’.

Ketika Tentara Relawan Rakyat Mao Zedong mengusir Angkatan Darat Kedelapan AS pada Desember 1950, fakta ini menimbulkan situasi yang hingga kini dikenal sebagai retret terpanjang dalam sejarah militer Amerika.

Pertempuran Ch’ongch’on menjadi lebih penting karena ‘genderang’-nya terdengar lebih kencang dibanding konflik lain yang melibatkan AS dan China.

Tahun lalu, pada peringatan 70 tahun kemenangan China, Xi Jinping mengingatkan rakyatnya bahwa ‘jalan di depan tidak akan mulus’. Ia mengimbau masyarakat membangkitkan kembali semangat Perang Korea, “Berbicara dengan penjajah dalam bahasa yang mereka tahu… menggunakan perang untuk mencegah perang.”

Sederhananya: beri tahu orang Amerika bahwa China tidak takut, China pernah menang, dan akan menang lagi.

Xi menegaskan, China menang ‘meski minim baja’ sebab mereka punya ‘lebih banyak semangat’. Pasukan China dan Korea Utara, kata dia, “Mengalahkan saingan bersenjata mereka dan menghancurkan mitos yang menyebut Angkatan Darat AS tak terkalahkan.”

Korea memang dikenal sebagai ‘perang yang terlupakan’. Amerika dan sekutunya lebih suka memperingati kemenangan Perang Dunia I dan II. Tapi di China, pertempuran Ch’ongch’on dihormati seperti D-Day.

Tahun lalu, lewat artikel opini media pemerintah China, AS sempat diperingatkan bahwa kemenangan di Korea ‘adalah pengingat bahwa China tidak pernah takut’.

Perang yang tak terpikirkan

Jangan salah! Kita sekarang berada dalam fase persiapan perang. China mulai lebih agresif baik dalam nada maupun aksi-aksinya, sementara AS terus memperkuat aliansi regional.

Perang yang dulunya tidak terpikirkan sekarang mulai dipertanyakan segala kemungkinannya—tetapi bukan tidak mungkin. Sejak AS menyatakan China sebagai ‘pesaing strategis’ pada 2017, ketegangan meningkat.

Amerika dan China sejatinya telah berperang—dalam bidang perdagangan. Mereka mengobarkan perang di dunia maya dan ada garis merah yang kapan saja dapat memicu konfrontasi besar-besaran.

Corong Partai Komunis China, ‘Global Times’, tahun lalu memperingatkan AS untuk tidak ‘main api’. Editorial itu memperingatkan Amerika untuk jaga jarak dari core interests apa pun yang dimiliki China.

Yang dimaksud dengan core interests itu tidak lain adalah pulau-pulau yang disengketakan di Laut China Selatan (LCS)—sekarang diklaim dan dimiliterisasi oleh China—juga Taiwan.

Terkait Taiwan, Presiden Xi telah berkomitmen untuk menyatukan kembali pulau itu dengan China Daratan—dengan ‘kekuatan’ (paksaan) bila perlu.

Xi tentu saja tidak dapat melangkah mundur. Pun sebaliknya, AS tidak dapat ‘disetel’ terlihat lemah untuk mengantisipasi kemungkinan mereka melepaskan dominasi regionalnya. Seperti yang dikatakan orang Cina: dua harimau tidak bisa hidup di gunung yang sama.

Konflik apa pun akan ‘menjadi lebih buruk sebelum benar-benar menjadi lebih buruk’

Sejarawan militer Universitas Harvard, Graham Allison, mengatakan konflik apa pun akan ‘menjadi lebih buruk jauh sebelum konflik itu benar-benar memburuk’. Ini berarti potensi konflik akan meningkat hingga menyeret negara-negara di seluruh Indo-Pasifik, bahkan mungkin secara global.

Penulis buku ‘Destined for War’ itu bahkan sulit menepis kemungkinan konflik berubah jadi perang nuklir.

Dan kini Australia berada di garis bidik, di antara rivalitas dua kekuatan besar baru ini. Pada satu sisi AS adalah sekutu strategis utamanya. Di sisi lain China mitra dagang terbesar mereka.

Merunut fakta ini, hilang sudah gagasan yang acapkali menjadi alasan bahwa ‘kita tidak harus memilih’. Australia telah memilih AS. Kami (Australia) membayarnya dengan memburuknya hubungan dengan China. Eksportir kami pun menderita.

Australia telah memperbarui pandangan strategis pertahanannya. Meningkatkan anggaran militer sebesar $ 270 miliar selama satu dekade ke depan. Ini adalah cerminan dari outlook yang memanas.

Perdana Menteri Australia Scott Morrison menggambarkan momentum ini sebagai momen ‘yang lebih buruk, lebih berbahaya dan lebih tidak teratur’.

Aliansi negara yang kemudian disebut grup Quad—Australia, India, Jepang, dan AS—meningkatkan kerja sama untuk mencoba menahan atau menggagalkan ambisi dan sikap agresif China yang tak terbendung.

Quad telah dipuji secara luas sebagai contoh kebangkitan kembali aliansi demokrasi di Asia. Namun pertanyaan tetap ada, terutama kaitannya dengan India dan Jepang.

Pertanyaan tentang quad

Tokyo sejauh ini berhasil (lebih sukses daripada Australia) mengelola hubungannya dengan China, mitra dagang terbesarnya—terlepas dari permusuhan bersejarah dan sengketa teritorial yang sedang berlangsung.

Jepang tidak mengambil langkah tipikal, seperti larangan perdagangan yang diterapkan China ke Australia. Apakah ini akan mempertaruhkan kepentingannya untuk membela Australia?

Tentu saja, Jepang sangat dekat dengan AS. Tetapi ada orang-orang yang mempertanyakan tekad Amerika dan dalam beberapa tahun terakhir—terutama di bawah mantan Perdana Menteri Shinzo Abe—telah ada dorongan bagi Jepang untuk mereformasi konstitusi pasifisnya sekaligus memperkuat postur militernya.

Lalu, bagaimana dengan India? Tahun lalu mereka terlibat clash dengan China. Konflik di sepanjang perbatasan yang disengketakan kedua negara menimbulkan korban (juga) di kedua pihak. Negara itu juga memiliki sejarah panjang untuk tidak terafiliasi atau beraliansi dengan negara mana pun (nonblok). Mereka pun menghadapi tetangga ‘bersenjata nuklir’, Pakistan, yang memiliki hubungan dekat dengan China.

India menghadapi ancaman yang jauh lebih cepat dan berbahaya daripada Australia. Apakah mereka akan tetap lempeng jika ketegangan meningkat?

Dan, dalam upaya untuk melawan China, kami (Australia) menjadikan aspek terburuk dari Perdana Menteri India Narendra Modhi sebagai alasan. Modhi adalah seorang tokoh otokratis yang pernah dilarang masuk ke AS. Ia mempromosikan nasionalisme, dituduh menekan suara Muslim dan minoritas lainnya, serta mengekang kebebasan media.

India dan Jepang juga menjalin hubungan internasional mereka sendiri dan memiliki hubungan dekat dengan negara-negara yang bermusuhan dengan AS.

India mengandalkan Rusia sebagai pemasok senjata terbesarnya dan diam-diam mendukung aneksasi Crimea oleh Vladimir Putin.

Delhi sendiri menengahi hubungan trilateral dengan Moskow dan Tokyo untuk meredakan kekhawatiran Rusia tentang Quad.

Sementara Jepang mempertahankan hubungan yang kuat dengan Iran, langkah yang sama yang diambil China.

Sebuah ‘pandangan realis’ dari tatanan dunia

Di mata China, Quad adalah blok bergaya Perang Dingin. Muncul sebagai solusi abad ke-20—untuk mempertahankan hegemoni AS—hingga masalah abad ke-21 dalam menggabungkan dan menyeimbangkan kekuatan otoriter China yang terus berkembang.

Jelas ini adalah momen bersejarah yang, sebagaimana diingatkan oleh sejarah, jika salah penanganan bisa berakhir dengan bencana.

Munculnya kekuatan besar meresahkan dunia. Kerajaan Inggris dibangun di atas penjajahan dan perang yang brutal, termasuk perang dengan China.

Imperialisme Amerika ditegaskan pencaplokan wilaayah-wilayah di Pasifik dan Karibia. Mereka mengklaim tempat-tempat seperti Hawaii, Filipina, Guam, dan Samoa Amerika.

Kita tidak perlu heran dengan klaim teritorial China atau sikapnya yang terkesan agresif. Ekses kejam Xi Jinping tidak dapat diabaikan dan negara-negara seperti Australia berhak membela kepentingan mereka.

Lalu apa yang harus dilakukan?

Mantan Perdana Menteri Australia yang pernah mengemban tugas diplomatik di China dan sekarang kepala think tank Asia Society, Kevin Rudd, telah mengemukakan argumen untuk apa yang disebutnya ‘persaingan strategis terkelola’. 

Rudd menyebutnya sebagai ‘pandangan realis’ tentang tatanan dunia.

“Bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal bila sebuah negara akan terus mencari keamanan dengan membangun keseimbangan kekuatan yang menguntungkan mereka … Trik dalam kasus ini adalah untuk mengurangi risiko kedua belah pihak saat persaingan di antara mereka terbuka dengan bersama-sama menyusun sejumlah aturan terbatas. Jalan yang akan membantu mencegah perang,” tulisnya.

Rudd mengakui bahwa hal tersebut lebih mudah diucapkan daripada dilakukan, mengingat ‘kepercayaan hampir sepenuhnya terkikis’. Ia menggemakan sentimen mantan perdana menteri lainnya, Paul Keating, yang dalam pidatonya pada tahun 2014 menanyakan apakah sudah waktunya untuk membangun tatanan strategis baru.

Kekuatan Amerika tidak lagi terbantahkan, kata Keating. Dan kebangkitan China tidak dapat disangkal. Masalahnya, lanjutnya, adalah bahwa China dan Amerika memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang kekuatan regional, sementara negosiasi belum benar-benar dimulai.

Tetap di tahun 2021

Yang kita miliki sekarang adalah pembicaraan hawkish tentang perang, pembangunan militer, dan aliansi Perang Dingin. Pertempuran Ch’ongch’on 70 tahun yang lalu dapat dilihat hari ini sebagai pertanda kemunduran Amerika.

Yang terjadi selanjutnya adalah perang dan kekalahan di Vietnam, konflik tak berujung di Afghanistan—di mana Taliban tetap bercokol. Juga invasi Irak yang menyingkirkan diktator brutal Saddam Hussein, tetapi meninggalkan negara yang tidak stabil dan porak-poranda, yang siap menghadapi pemberontakan teroris seperti ISIS, dilanda krisis keuangan, perpecahan sosial dan politik yang mendalam dan pergolakan, serta trauma akan pemerintahan mantan Presiden Donald Trump.

Di antara kekuatan ekonomi dan militer Amerika, negara itu sudah tercoreng. Namun, mereka berusaha merebut kembali kejayaannya di dunia. Faktor yang mempertemukan mereka dengan rival baru yang sangat besar dan terus berkembang.

China mengingat Perang Korea, sementara Amerika mencoba melupakannya. Hantu perang masa lalu kembali muncul di pusaran waktu.

Namun ada pelajaran sejarah lainnya: Amerika membantu membuka China; pasarnya membuat China kaya raya.

China, bahkan pada saat yang paling agresif dan berperang, tahu bahwa perang dengan Amerika akan menjadi bencana besar.

Kedua negara itu lebih baik sebagai ‘teman’ daripada ‘musuh’. (issa/wan)